“Baik Pa, aku nurut. Aku pilih kalian” Sena berkata lemah, matanya kosong menatap ke depan. Dan aku tau diri, aku langsung bangkit dari dudukku, menyalami ibu yang sangat bersedih dan hampir menangis saat memelukku, juga menyalami bapa yang nampak terluka dengan sikap dingin. Sama sekali tak mau menatap wajahku. Aku berdiri sejenak, membungkukan tubuhku di hadapan mereka, dan berlalu tanpa berani menatap atau pamit pada Sena.

Segera kukemasi semua barang di kamar yang sudah puluhan tahun kutempati. Ada sesak, ada sedih, ada hampa, tapi aku telah memutuskan tak kan menangis meski butiran air mata berjatuhan tanpa sanggup aku tahan.

Aku menarik dua koper ukuran besar berisi sebagian barang-barang penting yang kuputuskan untuk kubawa. Saat keluar kamar, bi Darmi dan mang Narto berdiri sambil memandang iba dan menahan tangis. “Non, ini amplop dari ibu dan bapa. Kata beliau berdua, uang ini untuk pegangan non”.
Bi Narti bicara terisak sambil menyodorkan amplop coklat berukuran tebal. “Bi, bilang sama ibu dan bapa, Niken kan udah kerja jadi ga perlu disangui. Tolong sampaikan surat ini buat beliau berdua ya! Katakan pada mereka, saya sangat menyayangi dan pasti merindukannya” Aku bicara sambil tersenyum. Entah kenapa bulir airmata semakin sulit dikendalikan.

Sebelum drama ini semakin berlanjut segera kupeluk mereka dan bergegas ke pintu depan. Tak disangka, Sena masih duduk terpaku di kursi ruang tamu, diam-diam dia menatapku yang berlalu dihadapannya. “Ken.. ” dia memanggilku pelan. “Kamu ke tempat bule Dian kan? Jaga diri baik-baik ya” dan aku tau pertanyaan itu tak perlu aku jawab.

********

  Cerita #1 - Sakitnya Dikhianati ?

“Katakan aku harus bagaimana Ken?” Sena mengacak-ngacak rambutnya gusar. Aku menyeka air mata dan memperbaiki baju bagian atasku yang sedikit terbuka setelah menghabiskan malam berdua di faviliun kosong di rumah kami. Kami tau kami tak bisa menghentikan perasaan, tapi tak berani juga melanjutkan permainan.
“Kalau bapa dan ibu tau kamu bisa mati Sena, dan aku tak kan lagi punya orangtua. Kamu juga telah bertunangan. Bisnis bapa bisa hancur kalau kamu mengakhiri hubunganmu dengan Diva”. Aku berkata tercekat. Sena menarik napas panjang, menatapku dengan lembut dan menarikku ke dalam pelukannya yang hangat. Rasanya ingin kami perlambat waktu, tak perlu ada pagi, biarlah malam ini berlanjut hingga seribu malam ke depan.

Dalam pelukan hangat Sena aku merasakan napasku sendiri sambil mengingat kejadian pilu 15 tahun silam.
“Kamu tinggal disini ya nduk, disini cuma ada bapa, ibu dan Sena kakakmu. Kalian pasti bisa jadi saudara yang baik” ibu memelukku hangat, dan bapa membelai rambutku penuh kasih sayang.
Sejak saat itu, aku menjadi anak mereka. Hidupku tidak lagi kesepian semenjak ditinggal Ayah dan Ibu karena kecelakaan setelah pabrik terbakar. Ayah dan ibu adalah supervisor di sebuah pabrik pengolahan plastik, tangan kanan kebanggaan papa dan mama Sena sang pemilik perusahaan. Iya, Sena laki-laki yang saat ini sedang memelukku hangat sambil memainkan anak-anak rambut di pelipisku. Sungguh mereka orangtua yang baik. Mereka menyayangiku layaknya anak sendiri. Tak pernah membeda-bedakan kasih sayang antara anak kandung dan anak angkat. Aku diberi pakaian yang layak, mainan yang mahal, sekolah elit dan bergengsi. Kalau ingat itu semua, entah neraka apa yang akan diberikan Tuhan buatku, anak angkat yang tidak tau diri.

Usiaku 7 tahun saat itu, dan Sena 11 tahun. Dia benar-benar kakak yang manis. Menyayangi dan melindungiku lebih dari apapun. Hingga akhirnya saat kami dewasa, perasaan itu tumbuh berbeda. “Kamu ini Ken, kalau lagi kupeluk pasti ngelamun, Kadang malah ketiduran” Sena berkata lembut sambil mencubit pipiku. Aku mendongakan wajahku untuk menatap wajahnya “Aku tak pernah menemukan tempat lain senyaman pelukanmu ini Sen” Ujarku sambil berkerling, Sena segera membalasnya dengan ciuman mesra, bibir kami beradu , lembut dan lama, hingga kami lupa kami adalah saudara di mata papa dan mamanya.

****

“Kurang ajar kalian!!” Bapa berdiri menahan amarah setelah melihat tayangan CCTV Faviliun rumah yang ditunjukan oleh satpam. seketika semua keluarga besar berkumpul. Papa mama Sena, tante dan omnya, juga kakek dan neneknya. Semua menatapku jijik. Anak yatim piatu yang dirawat penuh kasih sayang dan menerkam diam-diam.

Aku menangis dengan perasaan takut tidak kepalang. “Apa yang kalian lakukan di faviliun itu berdua semalaman hah??” Bapa menghardik keras. “Demi Tuhan Pa, kami tidak pernah berbuat jauh. Tapi kami memang saling menyayangi. Ijinkan kami bersama Pa..” Sena memohon sambil bersujud di kaki ayahnya. “Berdiri kamu Sena. Anak kurang ajar! Terus kamu mau meninggalkan Diva? Pabrik papa sudah hampir kolaps dan 60% saham perusahaan kita sekarang sudah jadi milik ayahnya Diva. Mau dibawa kemana muka papa? Mau jadi apa masa depan kita?” Bapa berbicara sangat keras sambil menampar Sena. Ibu menangis histeris, dan aku menutup wajahku ketakutan. “Dan kamu Niken! Sungguh bapa kecewa. Inikah balasannya?” Beliau bicara sambil bergetar menahan marah. Aku tak kuasa menahan diri, kupeluk kaki bapa, kucium berkali-kali. “Bapa, pukul Niken pak, pukulah! Niken yang salah Pak, ampuni Niken Pak. Seharusnya Niken tidak larut dalam perasaan, seharusnya Niken tau diri”. Aku berkata sambil sesenggukan dan beliau menarik kakinya keras menjuhiku. “Baiklah Sena. Sekarang silakan memilih. Kami orangtua kandungmu, atau anak perempuan tidak tau diri ini?” Bapa berkata sambil menekan dadanya. Ibu dipeluk tante Tyas adiknya karena lemas.

Selanjutnya aku tau, apa yang akan menjadi cerita selanjutnya. Sama seperti halnya diriku, perasaanku benar-benar tidak tau diri. Dan jawaban Sena adalah hukuman terbaik untukku.

Bersambung..

Selanjutnya Episode 02

Diambil Dari Group Facebook Penulis : Yayuk Hartini

Similar Posts

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *